JAKARTA, KOMPAS — Praktik eksploitasi terhadap primata marak terjadi di Indonesia meski monyet ekor panjang telah ditetapkan sebagai satwa yang terancam punah oleh Badan Konservasi Dunia atau IUCN. Karena itu, desakan agar primata tersebut dimasukkan dalam kriteria satwa dilindungi muncul dari sejumlah pihak agar terlindungi dari kepunahan.
Tergabung dalam Primates Fight Back, mereka menuntut agar pemerintah menghentikan perdagangan monyet ekor panjang dan menindak tegas para pelaku. Koalisi tersebut terdiri dari berbagai organisasi pelindung satwa, seniman, dan komunitas konservasi dari sejumlah daerah di Indonesia.
Pada Senin (12/12/2022) di depan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta, mereka menggelar pertunjukan teatrikal seni pantomim dan anggota koalisi sebagai bentuk keresahan adanya tindak kekejaman yang terjadi terhadap monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina).
Sebanyak 25 orang yang berunjuk rasa menampilkan representasi penderitaan yang dialami monyet akibat eksploitasi oleh manusia tersebut. Menurut Angelina Pane, juru bicara koalisi sekaligus Manajer Kampanye Animal Friends Jogja (AFJ), aksi hari ini tak lepas dari rangkaian aksi nasional yang akan berlangsung hingga Januari 2023.
Saat ini spesies monyet ekor panjang dan beruk di Indonesia sudah terancam. Pihaknya tidak akan berhenti hingga Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar memberikan perlindungan hukum kepada monyet ekor panjang, salah satunya dengan menetapkan sebagai satwa dilindungi.
Menurut dia, keterampilan monyet mencari sumber makanan hingga ke kawasan hidup manusia disalahartikan sebagai populasi monyet liar masih banyak. Namun, dari laporan IUCN pada 2022 saja, dalam beberapa dekade terakhir jumlah monyet ekor panjang di alam liar itu terus menurun.
Pada Maret 2022, IUCN menaikkan status monyet ekor panjang dan beruk dari rentan (vulnerable) menjadi terancam punah (endangered). Dalam kurun waktu 42 tahun terakhir, populasi monyet ekor panjang menyusut hingga 40 persen. Di negara Asia Tenggara, seperti Laos, populasi monyet ekor panjang menurun hingga 90 persen. Kini, yang tersisa hanya 300 hingga 500 individu. Bahkan, di Bangladesh, monyet ekor panjang telah punah secara lokal.
”Sejumlah pihak masih memburu dan memisahkan bayi monyet dari orangtuanya karena menganggap populasi satwa tersebut melimpah. Bahkan, menjual di pasar sebagai peliharaan, menyiksa, dan membunuh kawanan monyet dalam jumlah besar,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Animal Don’t Speak Human (ADSH) Fiolita Berandhini mengatakan, tidak menetapkan hewan tersebut sebagai satwa dilindungi berarti negara turut andil dalam depopulasi kedua spesies tersebut. Pemerintah telah dianggap membiarkan terjadinya konflik dan terganggunya keseimbangan lingkungan.
Sejumlah pihak memburu dan memisahkan bayi monyet dari orangtuanya karena menganggap populasi satwa tersebut melimpah. Bahkan, menjual di pasar sebagai peliharaan, menyiksa, dan membunuh kawanan monyet.
”Hingga kini belum diketahui populasi secara total di Indonesia terkait keberadaan monyet ekor panjang. Dengan menetapkan monyet ekor panjang sebagai satwa dilindungi, ini bisa mencegah dampak dan menjaga keberadaan populasi satwa tersebut agar tidak punah,” kata Fiolita.
Dalam aksi tersebut, pihak koalisi Primates Fight Back juga melakukan audiensi dengan sejumlah perwakilan dari Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH), Direktorat Jenderal (Ditjen) Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum), serta Biro Hubungan Masyarakat KLHK. Ada lima orang dari perwakilan koalisi Primates Fight Back yang berdiskusi secara tertutup tersebut.
Melibatkan BRIN
Saat audiensi tersebut, Ratih sebagai perwakilan dari Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) KLHK menjelaskan, pemanfaatan monyet ekor panjang di Indonesia diatur oleh peraturan perundangan karena satwa tersebut berperan sebagai penyeimbang dan perintis pada kawasan terbuka serta membantu proses regenerasi vegetasi hutan.
Legislasi nasional menyatakan bahwa kriteria status perlindungan monyet ekor panjang masih masuk ke dalam salah satu jenis satwa liar yang tidak dilindungi. Untuk menjadi satwa dilindungi harus memenuhi kriteria tertentu, seperti bersifat endemis, terjadi penurunan populasi secara signifikan, dan penyebaran terbatas.
Secara terpisah, menurut Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) Indra Exploitasia, pihaknya telah bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk melakukan kajian kelimpahan populasi dan pemenuhan untuk satwa monyet ekor panjang.
Kajian sejak 2020 masih dilakukan di beberapa wilayah, seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera Selatan. Jika kajian kelimpahan populasi dan penilaian kriteria satwa untuk jadi dilindungi itu selesai, akan diterbitkan rekomendasi dari BRIN sebagai salah satu bahan pertimbangan penetapan jenis dilindungi yang akan ditetapkan oleh Menteri LHK.
Menurut Indra, penindakan bentuk kejahatan tumbuhan dan satwa liar, seperti monyet ekor panjang yang diperjualbelikan, pihaknya telah berkoordinasi dengan polisi dan Ditjen Gakkum. Selain itu, ada peraturan daerah mengenai pelarangan pemanfaatan monyet ekor panjang untuk topeng monyet.
Daftar Pustaka