Tuesday 21 May 2024

Kajian Hukum Ekspor Hewan Diternak Hidup terhadap Kesejahteraan Hewan

Ekspor hewan ternak hidup

Oleh Drh. Zulfikar Basrul, M.Sc., Abdul Rahman, S.Hut, Stephanie Yesica, S.KM., Dina Nurrahma Putri, S.H., Carolina Sasi Kirana, S.Hub.Intl

1.1 Ekspor secara Umum

Menurut KBBI, 2023, ekspor merupakan pengiriman barang dagangan ke luar negeri baik finansial maupun perseorangan, yang diberikan oleh penduduk suatu negara kepada negara asing. Ekspor dinilai penting bagi Indonesia terutama berkaca pada perekonomian nasional. Beberapa manfaat ekspor antara lain meningkatkan pendapatan negara, menciptakan lapangan kerja, hingga produk Indonesia dapat menyentuh pasar global.

Kemendag, 2022 menyebutkan ada beberapa komoditas yang diekspor antara lain dari pertanian hingga perikanan seperti Udang, Kopi, Minyak Kelapa Sawit, Kakao, Karet dan Produk Karet, Produk Perikanan, Produk Kulit, Minyak Nabati, Rempah-rempah, hingga hewan hidup. Ekspor hewan hidup di Indonesia merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia yang memiliki potensi yang cukup besar. Pada tahun 2022, nilai ekspor Hewan hidup mencapai Rp. 21/7 triliun (Kementan, 2022).

Meskipun berpotensi cukup besar, ada beberapa permasalahan yang dihadapi mengenai ekspor hewan Hidup khususnya di Indonesia. Tantangan tersebut antara lain mengenai Kesejahteraan Hewan, aturan Hukum yang berlaku, Kesehatan Hewan, hingga keamanan produk. Apalagi ketika berbicara mengenai ekspor Hewan hidup di Indonesia, maka moda transportasi laut menjadi pilihan yang paling umum digunakan. Namun, hingga saat ini belum ada kajian Hukum yang membahas mengenai ekspor hewan hidup ketika dikaitkan dengan aspek Kesejahteraan Hewan. Ekspor Hewan Hidup dan aturan yang mengatur khususnya mengenai Kesejahteraan Hewan akan tertulis pada bagian selanjutnya.

1.2 Ekspor Hewan Diternak Hidup

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 05/M-DAG/PER/1/2016 mengatur tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan, ekspor hewan dan produk hewan dibatasi. Ketentuan yang dapat digarisbawahi adalah ekshpor hewan hanya dapat dilakukan apabila kebutuhan benih, bibit, dan atau bakalan Hewan dalam negeri telah terpenuhi dan kelestarian ternak lokal terjamin. Lebih lanjut, jenis hewan dan produk hewan yang dibatasi ekspornya tercantum dalam lampiran 1 yakni : kuda, keledai, sapi, biri-biri, kambing, hingga unggas seperti ayam, bebek, angsa. Seluruh jenis Hewan diatas ketika diekspor dapat dalam kondisi hidup dan bibit. Hal inilah yang menjadi pertanyaan mengenai kesejahteraan mereka terkhusus ketika dikirimkan dalam kondisi hidup.

Beberapa regulasi yang dapat dihubungkan mengenai isu ekspor Hewan hidup dan Kesejahteraan Hewan antara lain Undang-Undang 41/2014 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Undang-Undang No 21/2019 Tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 05/M-DAG/PER/1/2016 mengatur tentang Ketentuan Ekspor dan Impor

Hewan dan Produk Hewan, ekspor hewan dan produk hewan, Peraturan Pemerintah 95/2012 Tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, Pedoman Kesejahteraan Hewan dalam Pengangkutan Hewan, Pedoman Pelaksanaan Tata Niaga Ternak Melalui Moda Transportasi Laut 2018, dan aturan lain yang tidak mengikat.

1.3 Ekspor Hewan Hidup dan Kesejahteraan Hewan

Menurut Undang-Undang 41/2014 Tentang Peternakan dan kesehatan Hewan, pengertian Kesejahteraan Hewan/ kesrawan adalah adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental Hewan menurut ukuran perilaku alami Hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi Hewan dari perlakuan Setiap Orang yang tidak layak terhadap Hewan yang dimanfaatkan manusia. Terkhusus pada ekspor Hewan hidup, Kesejahteraan Hewan dapat dikaitkan menjadi isu yang penting (Voconic, 2020). Hing, dkk (2021) menyebutkan ada sepuluh faktor risiko yang melibatkan kesejahteraan hewan saat melakukan lalu-lintas Hewan. Faktor risiko tersebut adalah rasa lapar, rasa haus, paparan temperature berlebih, kondisi perkandangan yang buruk, masalah kesehatan, tidak adanya tenaga dokter Hewan, infrastruktur alat angkut yang buruk, medan perjalanan yang sulit, kesalahan teknis, dan pengeolahan limbah. Sepuluh faktor risiko ini dapat dikaitkan dengan Lima Domain dari pendekatan Kesejahteraan Hewan (Mellor, 2016) dimana lima domain ini menjadi ukuran apakah hewan tersebut sejahtera atau tidak. Apalagi dari Peraturan Pemerintah 95/2012 Tentang Kesmavet Kesrawan pada Pasal 83 menyebutkan Kesejahteraan Hewan diterapkan kepada setiap jenis Hewan bertulang belakang dan yang tidak bertulang belakang namun dapat merasakan rasa sakit yang keberlangsungan hidupnya bergantung pada manusia.

Seluruh faktor risiko diatas diperkirakan dapat memberikan respon yang negatif kepada Hewan seperti rasa tidak nyaman, sakit, serta gangguan fungsi fisik dan psikologis. Beberapa aspek yang dapat menyebabkan parahnya pelanggaran Kesejahteraan Hewan adalah saat pengekangan dan transportasi, kualitas udara, kebersihan, perkandangan, hingga cuaca (Moore, 2014).

Tulisan ini akan membahas beberapa faktor risiko diatas yang dinilai relevan sesuai dengan topik pembahasan yang dibahas dan dikaitkan dengan aturan yang ada di Indonesia baik dari Undang – Undang, Peraturan Pemerintah, aturan lain yang mengikat, hingga pedoman yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.

1.3.1 Rasa lapar dan haus

Rasa lapar pasti dirasakan oleh seluruh makhluk hidup setelah melakukan suatu aktivitas. Rasa lapar dikaitkan dengan beberapa kejadian seperti kurangnya ketersediaan makanan di suatu tempat, adanya kompetisi yang tinggi, menurunnya nafsu makan, dan tidak dapat berjalan karena adanya penyakit utama atau sekunder.

Menurut Lima Domain (Mellor, 2016), rasa lapar merupakan respon negatif yang dapat menyebabkan hewan tidak sejahtera. Saat melakukan ekspor Hewan hidup, transportasi selalu diselaraskan dengan waktu pemberian makan. Beberapa moda transportasi yang digunakan saat ekspor Hewan hidup memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Contohnya saat menggunakan jalur darat, maka Hewan diberi makan dan minum sebelum dilakukan proses lalulintas. Saat dilakukan lalulintas, maka Hewan tidak mendapatkan makan dan minum hingga sampai saat istirahat yang normalnya adalah 8-12 jam perjalanan. Babi, salah satu hewan yang diekspor oleh Indonesia ke negara tetangga, memiliki kebutuhan pakan 1.00 kg/ekor/hari untuk kelompok babi grower 51 hingga 110 kg. Pakan ini diberikan saat istirahat selama proses lalulintas ternak. Namun waktu pemberian pakan berbeda antar spesies sehingga perlu literasi yang tinggi dalam membedakan interval waktu pemberian pakan (Direktorat Kesmavet 2021).

Rasa haus juga merupakan salah satu bagian dari Lima Domain yang harus dihindari oleh pemilik Hewan. Seperti contoh, sapi memerlukan volume air yang cukup tinggi untuk

memenuhi kebutuhan harian. Ketika terjadi kekurangan air untuk diminum, maka akan berdampak pada kesejahteraan hewan seperti fungsi biologis tubuh akan terganggu dan menyebabkan kesakitan hingga kematian (Von Keyserlingk, dkk, 2016).

Hing, dkk (2021) menyebutkan bahwa pada beberapa kasus saat hewan dilalulintaskan, kualitas air yang diberikan menjadi sumber masalah. Air yang diobservasi adalah air yang telah berubah warnanya dan jarang dibersihkan, atau telah terkontaminasi dengan feses. Hadirnya kontaminasi pada air dapat menimbulkan bau yang dihasilkan dari urin, feses, dan debu. Bau tersebut membuat Hewan tidak memiliki kemauan untuk meminumnya (LeJuene, dkk, 2001) dan air yang telah terkontaminasi dapat menjadi sumber patogen penyakit (Hogan, dkk, 2007). Padahal, Pasal 87 serta Pasal 89 dalam PP 95/2012 Tentang Kesmavet dan Kesrawan menuliskan saat penempatan dan pengandangan, Hewan harus diberikan pakan dan minum yang sesuai dengan kebutuhan fisiologis Hewan.

1.3.2 Lingkungan dan masalah kesehatan hewan

PP 95/2012 pada Pasal 83 menyebutkan bahwa prinsip kesejahteraan Hewan diterapkan juga saat penempatan dan pengandangan, serta pengangkutan. Pasal 87 dalam PP yang sama juga disebutkan bahwa penempatan dan pengandangan harus dilakukan dengan menggunakan kandang yang bersih dan memungkinkan Hewan leluasa bergerak. Namun hal ini sering bertolak belakang dengan kondisi di lapangan saat Hewan dipindahkan dari suatu wilayah ke wilayah lain. Hal ini tentunya dapat memberikan rasa tidak nyaman dan akhirnya hewan menjadi stress.

Ketika menghadapi ketidaknyamanan, maka akan berefek pada keadaan mental seperti stress serta frustasi. Kemudian akan mempengaruhi kondisi fisik pada tubuh Hewan dan menghasilkan masalah kesehatan yang serius. Sama halnya ketika dilakukan ekspor Hewan hidup yang tidak memperhatikan kesejahteraan Hewan. Beberapa masalah kesehatan yang dilaporkan antara lain terjadi pada sistem pencernaan seperti diare kronis, sistem integumen seperti ringworm, sistem pernapasan seperti pneumonia, hingga sistem lokomosi seperti lameness. Lameness dilaporkan menjadi salah satu penyakit yang paling sering ditemukan saat dilakukan ekspor Hewan hidup (Moore, dkk. 2014) yang dikaitkan dengan pengekangan buruk, manajemen kandang yang tidak sesuai, dan adanya infeksi dan sakit pada bagian tapal (Simpson, 2012).

Contoh kejadian penyakit yang dapat menyebabkan gangguan ekspor Hewan hidup adalah temuan penyakit flu babi (African Swine Fever) di pulau Bulan pada Mei 2023. Singapura, importin rutin ternak Babi menghentikan pengiriman babi dari Indonesia karena ditemukan adanya virus flu babi pada ternak. Setelah dilakukan pengujian laboratorium, maka hasil yang didapatkan adalah positif flu babi. Dengan hasil yang positif, artinya dapat ditarik kesimpulan bahwa ketika Hewan menderita suatu penyakit, maka dapat memberikan efek negatif pada kesejahteraan Hewan tersebut. Setelah kejadian ini, pemeriksaan lebih ketat dan berkala dilakukan untuk tetap menjaga keamanan dan kesehatan dari ternak yang akan dikirim dan dikonsumsi manusia.

Masalah kesehatan Hewan sebelum dilakukan lalu lintas termasuk ekspor diatur dalam Undang-undang 21/2019 Tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan. Pada UU tersebut, khususnya pada Pasal 28 tertulis Pelaksanaan tindakan Karantina dilakukan sebelum diajukan pemberitahuan pabean impor atau ekspor. Kemudian dilanjutkan pada Pasal 34 yaitu Setiap Orang yang mengeluarkan Media Pembawa dari wilayah Indonesia wajib melengkapi sertifikat Kesehatan bagi Hewan, mengeluarkan melalui tempat pengeluaran yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, dan melaporkan kepada Pejabat Karantina untuk diadakan tindakan Karantina dan pengawasan dan/atau pengendalian. Disini dapat digarisbawahi mengenai pentingnya sertifikat Kesehatan sebelum melakukan pengiriman Hewan baik di area Indonesia maupun ke luar wilayah Indonesia.

Tak hanya kesehatan yang menjadi ancaman ekspor Hewan hidup, suhu atau temperatur pun menggenggam peranan penting dalam kesejahteraan Hewan ternak yang akan diekspor. Indonesia memliki suhu diatas rata-rata yang juga memiliki dampak untuk Hewan yang sedang diekspor. Suhu dan kelembapan sangat dikaitkan dengan tingkat stress pada ternak. Dengan adanya pengetahuan mengenai Temperature Humidity Index pada ternak, maka diharapkan ternak dapat terhindari dari stress akibat cuaca baik hujan maupun panas. Ketika hewan gagal mengatur suhu tubuh dengan suhu lingkungan, maka akan terjadi beberapa kondisi yang hewan rasakan yaitu hipotermia, hipertermia, hingga stress karena panas atau dingin. Hal ini jika terjadi pada hewan akan menghasilkan ketidaknyamanan. Tanda Hewan yang menderita stress karena panas adalah terlihatnya peningkatan pada pernapasan, terengah-engah dengan mulut yang terbuka, meningkatnya konsumsi air, penurunan nafsu makan, dan adanya batuk (Hing, dkk. 2021).

Beberapa alat angkut laut atau darat juga harus memperhatikan adanya penutup atas untuk memastikan Hewan yang dibawa bebas dari paparan cuaca ekstrim. Khususnya pada babi dapat dilengkapi jaring pengaman pada bagian atas kendaraan agar babi tidak lompat keluar. Ketentuan ini telah diatur pada Pasal 87 PP 95/2012 Tentang Kesmavet dan Kesrawan yang berbunyi penerapan prinsip Kesejahteraan Hewan pada penempatan dan pengandangan salah satunya adalah melindungi dari panas matahari dan hujan.

Fasilitas moda transportasi laut menurut pedoman sudah baik seperti halnya pada fasilitas kapal yakni desain kandang dibuat senyaman mungkin sesuai dengan kebutuhan ternak berdasar spesies, ukuran, dan berat badan. Kemudian kepadatan ternak diatur sedemikian rupa untuk menghindari ketidaknyamanan seperti desak-desakan hingga tersentuhnya kepala dengan dek kapal. Permukaan kapal juga dirancang mudah untuk dibersihkan dan lantai yang digunakan tidak kasar. Hal ini tertuang pada PP 95/2012 Tentang Kesmavet dan Kesrawan.

1.4 Pidana pelanggaran kesejahteraan hewan

Sesuai dengan aturan yang berlaku khususnya yang tertulis pada Pasal 99 dalam PP 95/2012 yaitu setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan penderitaan yang tidak perlu terjadi bagi Hewan, maka perlunya edukasi dan sosialisasi mengenai pidana yang didapatkan kepada orang yang tidak mengindahkan kesejahteraan Hewan saat ekspor Hewan hidup. Pertama, pada Pasal 91B UU 41/2014 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan tertulis bahwa setiap orang yang menganiaya dan menyalahgunakan Hewan sehingga Hewan cacat dan tidak produktif dapat dipidana kurungan maksimal 6 bulan dan denda paling banyak lima juta rupiah. Pasal ini sangat menggarisbawahi mengenai efek yang didapatkan oleh Hewan ketika tidak mengikuti pedoman Kesejahteraan Hewan. Efek tersebut adalah Hewan cacat dan tidak produktif. Ketika terbukti bahwa Hewan tersebut mengalami satu atau dua efek diatas, maka orang yang mengirimkan Hewan tersebut dapat dikenakan pidana sesuai dengan aturan yang berlaku. Pasal ini juga didukung dengan Pasal sebelumnya bahwa setiap orang dilarang menganiaya dan/atau menyalahgunakan Hewan yang dapat mengakibatkan Hewan tersebut cacat dan/atau tidak produktif (Pasal 66A, UU 41/2014).

Aturan berikutnya adalah aturan yang tertulis pada UU 21/2019 Tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan pada Pasal 87 yaitu Setiap orang yang mengeluarkan Media Pembawa tida melengkapi sertifikat kesehatan bagi hewan dipidana penjara tiga tahun dan pidana denda tiga miliar rupiah.

1.5 Risiko ekspor hewan diternak hidup terhadap Kesehatan Masyarakat

Risiko masuknya penyakit hewan (zoonosis) dan kelangkaan hewan yang berpengaruh terhadap ekosistem lingkungan dalam suatu negara dapat menjadi risiko perdagangan hewan terhadap kesehatan masyarakat. Keadaan lingkungan dapat mempengaruhi kondisi kebugaran dan

kesehatan masyarakat. Banyak aspek kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh lingkungan, dan banyak penyakit dapat dimulai, didukung, ditopang atau dirangsang oleh faktor-faktor lingkungan (Lesmana, 2013).

Zoonosis atau penyakit zoonotik adalah penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia ataupun sebaliknya. Zoonosis disebabkan oleh mikroorganisme parasit yang dapat berupa bakteri, virus, jamur, serta parasit seperti protozoa dan cacing. Penularan dapat melalui tiga cara yaitu langsung, tidak langsung dan konsumsi. Penularan melalui kontak langsung dapat terjadi dengan cara kontak dengan hewan terinfeksi, tergigit, terkena air liur dan kotoran hewan serta cairan yang keluar dari hewan tersebut. Sedangkan penularan tidak langsung dapat melalui perantara, baik artropoda yang bertindak sebagai vektor, air dan juga tanah. Selain kedua cara tersebut penularan juga dapat melalui konsumsi produk asal hewan terinfeksi yang masih mengandung bibit penyakit, 60% penyakit pada manusia adalah zoonosis, 75% penyakit infeksi baru pada manusia berasal dari hewan, 5 penyakit infeksi baru pada manusia muncul setiap tahun dan 3 diantaranya bersumber dari hewan, 80% agen dengan potensi penggunaan untuk bioteroris adalah patogen zoonosis (Disnakkeswan NTB, 2020).

Namun, pemerintah telah melakukan mitigasi terkait kejadian zoonosis dan kelangkaan hewan akibat ekspor hewan hidup maupun bibit hewan dengan adanya Perjanjian tentang Kesehatan Manusia, Hewan dan Tumbuhan” (Sanitary and Phytosanitary/SPS). Perjanjian SPS memuat hal-hal yang berkaitan dengan upaya pengamanan pangan dan perlindungan kesehatan hewan dan tumbuhan yang dijalankan oleh suatu negara. Dari aspek kesehatan hewan meningkatnya lalu lintas perdagangan hewan dan produknya akan membawa risiko masuknya penyakit hewan ke dalam wilayah Indonesia yang dapat mengancam sumberdaya hewan yang ada di Indonesia.

Sampai saat ini Indonesia telah bebas 13 dari 15 penyakit hewan menular daftar A OIE/WOAH yaitu penyakit hewan menular yang dapat menyebar dengan cepat melewati batas negara, mempunyai dampak sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat yang tinggi serta mempunyai dampak yang sangat besar bagi perdagangan internasional. Selain itu Indonesia juga bebas dari beberapa penyakit hewan menular daftar B OIE yang penting seperti penyakit sapi gila (Bovine Spongiform Encephalopathyl/BSE) dan Scrapie. Melihat kondisi ini, Indonesia harus mampu memanfaatkan kesepakatan SPS untuk melindungi sumberdaya alam Indonesia dari ancaman penyakit hewan dari luar. Untuk menjawab tantangan dan ancaman yang semakin kompleks dan kompetitif di era pasar bebas, maka perlu adanya perubahan pandangan dan reorientasi pembangunan peternakan dan kesehatan hewan di Indonesia.

1.6 Tantangan ekspor hewan hidup di masa depan

Meskipun memiliki potensi yang besar, ekspor hewan hidup atau hewan ternak di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan, antara lain pertama adalah persyaratan kesehatan dan keamanan. Ekspor hewan hidup atau hewan ternak memerlukan persyaratan kesehatan dan keamanan yang ketat. Hal ini untuk mencegah penyebaran penyakit hewan ke negara tujuan. Kedua adalah biaya transportasi. Biaya transportasi hewan hidup atau hewan ternak relatif mahal. Hal ini karena hewan hidup atau hewan ternak harus dipelihara dengan baik selama perjalanan untuk mencegah kematian atau sakit. Dan yang terakhir adalah persaingan dari negara lain. Indonesia bersaing dengan negara-negara lain dalam ekspor hewan hidup atau hewan ternak. Negara-negara tersebut, seperti Brazil, Australia, dan India, memiliki keunggulan dalam hal skala produksi dan daya saing harga.

Kemudian, untuk meningkatkan ekspor hewan hidup atau hewan ternak di Indonesia, perlu dilakukan berbagai upaya seperti meningkatkan kualitas dan daya saing produk. Peningkatan kualitas dan daya saing produk dapat dilakukan melalui penerapan teknologi dan manajemen yang baik. Selanjutnya adalah meningkatkan kerjasama dengan negara tujuan. Kerjasama dengan negara tujuan dapat dilakukan untuk meningkatkan pemahaman tentang persyaratan kesehatan dan keamanan serta

untuk mempromosikan produk Indonesia. Terakhir, dukungan dari pemerintah juga sepatutnya lebih ditingkatkan. Pemerintah perlu memberikan dukungan, seperti fasilitasi ekspor dan promosi produk.

1.7 Kesimpulan

Penerapan Kesejahteraan Hewan pada saat melakukan ekspor Hewan hidup masih memiliki banyak celah yang dapat diperbaiki kedepannya. Dengan dibantu beberapa aturan perundangan dan pedoman dari Kementerian yang membahas mengenai Kesejahteraan Hewan di Indonesia maka tidak mustahil masyarakat dapat mewujudkan ekspor Hewan hidup yang berdasarkan pada Kesejahteraan Hewan. Peran aktif masyarakat sangat dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi yang masih kurang demi meningkatkan kesehatan, kesejahteraan pada Hewan serta roda perekonomian pada masyarakat.

Daftar Pustaka

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2020. Zoonosis. Disnakkeswan Prov NTB : NTB.

Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, 2020, Pedoman Kesejahteraan Hewan Dalam Pengangkutan Hewan: Kementerian Pertanian RI.

Hing, S., Foster, S. and Evans, D., 2021. Animal welfare risks in live cattle export from Australia to China by sea. Animals, 11(10), p.2862.

Hogan, J.P.; Petherick, J.C.; Phillips, C.J.C. The physiological and metabolic impacts on sheep and cattle of feed and water deprivation before and during transport. Nutr. Res. Rev. 2007, 20, 17-28. [CrossRef]

KBBI, 2016. Pengertian Ekspor. Kemendikbud : Jakarta https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ekspor.

Kementerian Perdagangan, 2016. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan. Kementerian Perdagangan : Jakarta.

Kementerian Perdagangan, 2022. Produk Unggulan Indonesia. Kementerian Perdagangan : Jakarta http://ppejp.kemendag.go.id/produk-unggulan-indonesia/

LeJeune, J.T.; Besser, T.E.; Merrill, N.L.; Rice, D.H.; Hancock, D.D. Livestock drinking water microbiology and the factors influencing the quality of drinking water offered to cattle. J. Dairy Sci. 2001, 84, 1856-1862. [CrossRef]

Mellor, D.J., 2016. Updating animal welfare thinking: Moving beyond the “Five Freedoms” towards “a Life Worth Living”. Animals, 6(3), p.21.

Moore, S.J. Investigating Causes of Mortality in Live Export Cattle. Ph.D Thesis, Murdoch University, Perth, Australia, May 2014. Available online:
https://researchrepository.murdoch.edu.au/id/eprint/24046/1/Thesis_4b_ForResearchRepository_JM_07 1014.pdf.

Moore, S.J.; O’Dea, M.A.; Perkins, N.; Barnes, A.; O’Hara, A.J. Mortality of live export cattle on long-haul voyages: Pathologic changes and pathogens. J. Vet. Diag. Investig. 2014, 26, 252-265. [CrossRef].

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 05/M-DAG/PER/1/2016 mengatur tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan, ekspor hewan dan produk hewan.

Peraturan Pemerintah 95/2012 Tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan.

Pedoman Pelaksanaan Tata Niaga Ternak Melalui Moda Transportasi Laut 2018.

Putri, S.T. 2004. Langkah Antisipatif Penyakit Eksotis dan Zoonotis dalam Perdagangan Internasional. Jakarta : Wartazoa Vol. 14 No. 2 Th. 2004.

Simpson, L. Submission to the ASEL Review. 2012. Available online:
https://www.rspca.org.au/sites/default/files/website/Campaigns/Live-export/Live-export-facts/Dr_Lynn_Simpson-Submission_to_ASEL_Review_RS.pdf.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2019 Tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan.

Von Keyserlingk, M.A.G.; Phillips, C.J.C.; Nielsen, B.L. Water and the Welfare of Farm Animals. In Nutrition and the Welfare of Farm Animals; Phillips, C., Ed.; Animal Welfare; Springer: Cham, Switzerland, 2016; Volume 16, pp. 183-197.

SHARE THIS POST

Diskusi