Alih fungsi kawasan hutan untuk kebutuhan industri (investasi) berpotensi merampas ruang hidup satwa.
Oleh: Ady Thea DA
Pemerintah terus berupaya menuntaskan naskah akademik dan draft omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja. Kebijakan ini disebut bakal menyederhanakan regulasi yang dinilai menghambat masuknya investasi. Kemudahan itu diyakini pemerintah bakal menggenjot investasi. Namun, sejumlah kalangan khawatir kemudahan investasi itu semakin mengeksploitasi sumber daya alam termasuk meningkatkan alih fungsi kawasan hutan untuk kepentingan industri dan investasi.
Aktivis Perlindungan Satwa Animals Don’t Speak Human Violita Berandhini melihat salah satu yang bakal disasar RUU omnibus law yaitu memangkas atau mengubah proses perizinan, salah satunya izin lingkungan (amdal). Menurut Violita, izin lingkungan itu penting guna mengantisipasi dampak buruk yang berpotensi terjadi dari suatu kegiatan usaha.
Meski izin lingkungan sifatnya wajib, Violita melihat masih banyak pihak yang tidak mematuhinya dan melakukan pelanggaran. Jika omnibus law memangkas izin lingkungan, dia khawatir pengrusakan lingkungan akan terjadi lebih masif. Rusaknya lingkungan hidup tidak hanya merugikan masyarakat, tapi juga satwa.
Violita menilai omnibus law akan mendorong investasi yang mengeksploitasi sumber daya alam, antara lain di sektor perkebunan, kehutanan, dan industri ekstraktif. Berbagai kegiatan usaha itu juga berpotensi mengancam habitat satwa yang ada di hutan karena lahan yang mereka gunakan merupakan alih fungsi kawasan hutan.
“Pembukaan lahan dan alih fungsi hutan yang masif akan mengancam habitat satwa, dan satwa bisa mati karena habitatnya rusak,” kata Violita dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (3/2/2020).
Satwa juga kerap diburu secara liar karena dianggap sebagai hama di perkebunan. Sanksi pidana yang bakal diganti menjadi administratif, menurut Violita semakin mengabaikan perlindungan HAM, lingkungan hidup, dan satwa. Tak ketinggalan Violita mengingatkan jika habitatnya hilang, satwa akan mencari makan sampai wilayah pemukiman penduduk. Tentu saja hal ini sangat merugikan bagi penduduk dan mengancam satwa itu sendiri.
“Dalam hal ini baik penduduk di pemukiman dan satwa merupakan korban dari kebijakan pemerintah,” tegasnya.
Kesalahan pengelolaan SDA
Sebelumnya, Manager Kajian Kebijakan Walhi Boy Even Sembiring, menilai pemerintah abai memperhatikan faktor kebencanaan dalam setiap kebijakan. Padahal, banyak daerah di Indonesia merupakan wilayah yang rawan bencana. Melansir data BNPB tahun 2019, ada 3.768 bencana dan tahun 2018 terjadi 2.572 kejadian bencana. Bencana hidrometeorologi lebih dominan ketimbang bencana geologi. Kenaikan tren bencana hidrometeorologi ini akibat interaksi dan pengaruh parameter meteorologi seperti cuaca, kelembaban, hujan yang berkaitan erat dengan isu perubahan iklim.
Tahun 2019, Walhi mencatat telah terjadi sedikitnya 3 kejadian bencana banjir bandang dan longsor, seperti di Bengkulu, Sulawesi Utara, dan Papua. Berbagai sebab terjadinya bencana itu antara lain karena alih fungsi lahan menjadi perkebunan dan pertambangan serta pembalakan liar. Tahun 2019, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali terulang di Sumatera dan Kalimantan.
Walhi mencatat dominasi bencana hidrometeorologi yang terjadi di Indonesia merupakan akumulasi dari kesalahan pengelolaan sumber daya alam (SDA). Tercatat periode 2014-2015 Indonesia kehilangan 27 persen tutupan pohon. Ini terjadi karena alih fungsi lahan untuk pertambangan, dan perkebunan. “Dalam kebijakannya, pemerintah kerap mengabaikan faktor kebencanaan,” paparnya.
Boy juga mencatat setidaknya 30 titik proyek dan kebijakan pemerintah di sepanjang pesisir selatan Jawa berpotensi meningkatkan resiko bencana. Berbagai proyek yang ada di lokasi itu antara lain tambang pasir besi, emas, infrastruktur, dan PLTU. Potensi selatan pesisir pulau Jawa yang rawan bencana ini seharusnya mendorong pemerintah untuk mengevaluasi seluruh perizinan dan rencana pembangunan.