Maraknya kasus penganiayaan hewan di Indonesia sudah bukan hal baru di telinga masyarakat. Kasus-kasus yang terjadi melingkup ke berbagai hal, mulai dari kekerasan, eksploitasi, perdagangan, overpopulasi, hingga pembunuhan.
Sedari kecil, masyarakat belum terbuka dengan hal-hal yang sebenarnya menyakiti hewan. Contoh paling mudah, anak-anak kecil yang sering mengadu jangkrik, mencabuti sayap kupu-kupu, hingga kucing yang diberikan karet gelang dengan anggapan diberikan kalung.
Tanpa disadari, kekerasan terhadap hewan marak terjadi karena adanya budaya yang dinormalisasi. Ada konsentris yang beranggapan bahwa manusia adalah makhluk hidup yang paling superior, berada di atas hewan. Ketika hewan dianggap mengganggu, bukan persoalan besar untuk menyingkirkannya karena keberadaannya yang sering ditemui.
Melansir dari BBC, menurut Asia For Animals Coalition, Indonesia adalah negara nomor satu di dunia yang paling banyak mengunggah konten kekejaman terhadap hewan di media sosial. Dari 5.480 konten yang dikumpulkan, sebanyak 1.626 konten penyiksaan berasal dari wilayah Indonesia.
Data tersebut bukanlah sebuah prestasi, tetapi justru menyayat hati. Korbannya pun tersebar ke berbagai spesifikasi, mulai dari satwa liar, satwa yang dilindungi, juga hewan domestik.
Baru-baru ini ramai diperbincangkan, kasus Canon, seekor anjing di Aceh yang dipukul dengan ranting, dimasukkan ke keranjang sempit, dan diikat di karung hingga akhirnya mati dalam perjalanan ketika dipindahkan.
Ada pula kasus Tayo, seekor kucing yang ditangkap, dijagal hingga hanya tersisa kepala yang bertujuan untuk dikonsumsi. Mundur beberapa bulan ke belakang, seekor kuda delman ambruk di jalan karena kelelahan dan dipaksa bangun oleh kusir menggunakan kekerasan.
Bahkan, seekor orang utan bernama Pony dijadikan budak seks untuk memenuhi nafsu manusia. Selain itu, ada juga hiburan topeng monyet yang mengeksploitasi monyet untuk melakukan atraksi tanpa diberikan tempat tinggal dan makanan yang layak.
Jika disebutkan satu per satu, contoh kasus kekerasan terhadap hewan akan menjadi daftar panjang yang tak berkesudahan. Walaupun sudah terdapat hukum yang mengatur permasalahan ini, berbagai kasus telah menjadi bukti nyata bahwa kesadaran masyarakat terhadap perlindungan hewan masih jauh dari kata optimal.
Padahal, insting hewan adalah bertahan hidup dan mencari makan. Bukankah seharusnya, manusia yang memiliki akal budi dan hati nurani dapat lebih paham dalam memilih tindakannya?
Tak berhenti sampai sana, terdapat beberapa oknum yang secara tidak langsung melakukan eksploitasi demi keuntungan pribadi. Seperti, adanya breeder ilegal, penjualan hewan dengan kondisi tidak layak, dan juga rumah penjagalan. Sayangnya, kesadaran masyarakat akan hal ini masih kurang.
Lantas, apa sebenarnya akar permasalahan dari penganiayaan hewan? Apakah hal tersebut dapat benar-benar terselesaikan?
Realita Perilaku Terhadap Hewan di Indonesia
Pejaten Shelter, sebuah penampungan hewan yang berlokasi di Pejaten Barat, Jakarta Selatan, menjadi rumah bagi setidaknya 1.500 ekor anjing. Di sini, selalu ada anjing baru yang datang untuk diberi perawatan dan ditampung setiap harinya.
Tim rescue Pejaten Shelter melaporkan bahwa sebagian anjing yang datang merupakan korban kekerasan hewan. Kekerasan-kekerasan tersebut biasanya datang dari warga setempat yang merasa tidak nyaman dengan kehadirannya seekor anjing di lingkungan mereka.
Kebanyakan warga mengusir anjing-anjing yang berkeliaran dengan metode-metode yang keji, seperti dipukul dan disiram air mendidih. Tak jarang anjing-anjing yang datang ke Pejaten Shelter berada dalam kondisi yang memprihatinkan.
Bentuk kekerasan lainnya adalah tindakan eksploitasi anjing oleh breeder-breeder ilegal. Breeder atau peternak seharusnya memiliki lisensi resmi dan mengikuti aturan-aturan tertentu yang berguna untuk menjaga kesehatan fisik dan mental anjing. Namun, sudah banyak kasus breeder ilegal yang melakukan praktik tidak etis terhadap anjing.
Rumah Singgah Ting Ping Ping (TPP) menjelaskan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh breeder anjing sangat banyak terjadi. Para anjing dipaksa untuk kawin berkali-kali demi mendapat jenis anjing yang diinginkan sesuai jumlah tertentu.
Idealnya, seekor anjing hanya bisa beranak 3–4 kali seumur hidupnya. Sayangnya, sudah banyak anjing yang dipaksa untuk beranak lebih dari jumlah yang direkomendasikan.
Bentuk pemaksaan ini termasuk dalam tindakan eksploitasi anjing. Anjing-anjing ini dijadikan mesin pencari uang yang dipaksa kawin demi memproduksi anak-anak anjing yang memiliki nilai jual tinggi.
Induk-induk anjing yang tidak mampu lagi untuk bereproduksi akhirnya antara disiksa atau dibuang. Karena hal ini, sering kali anjing-anjing yang menjadi korban kejahatan breeder ditemukan dalam kondisi kritis. Sebagian anjing sudah tidak memiliki bulu, mengidap kanker payudara, dan tidak lagi memiliki organ kelamin yang sehat karena sudah dimutilasi.
Tidak hanya breeder ilegal, penjagalan pun kerap terjadi. Rumah-rumah penjagalan anjing ini merupakan rumah-rumah biasa yang dijadikan tempat pemotongan daging anjing oleh oknum-oknum tertentu.
Tak jarang, oknum-oknum ini beraktivitas di daerah perkotaan, seperti Jakarta. Daerah Tanah Merah menjadi salah satu wilayah di Jakarta yang memiliki banyak rumah penjagalan anjing. Daging-daging anjing ini biasanya dijual kembali ke rumah makan untuk dimasak.
Selain anjing, kucing juga kerap menjadi korban kekerasan.
Salah satu penyebabnya adalah isu overpopulasi hewan. Akibat dari tak terkontrolnya populasi anjing dan kucing, kedua hewan ini menjadi target penganiayaan oleh masyarakat. Mulai dari dianggap mengganggu kehidupan sehari-hari, najis, tidak suka hewan. Banyak sekali alasan yang dihalalkan oleh masyarakat untuk menyiksa hewan-hewan ini.
“Itu adalah ekspresi orang awam yang frustrasi karena tidak tahu bagaimana cara menghilangkan masalah itu (overpopulasi),” jelas Vivi, perintis Rumah Steril.
Populasi meningkat karena kucing mudah bereproduksi. Dilansir dari Kompas, seekor kucing betina dapat melahirkan hingga 12 ekor setiap tahunnya. Kucing-kucing jalanan dapat dengan bebas mereproduksi karena tidak ada yang menjaga. Terkadang, kucing-kucing peliharaan pun bisa keluar dari rumah dan kawin dengan kucing jalanan.
Semakin banyak kucing yang berkeliaran, semakin banyak kucing yang menjadi korban kekerasan. Jumlah kucing liar di berbagai sudut kota semakin meningkat. Berdasarkan data DKPKP yang dilansir dari Kumparan, jumlah kucing di Jakarta pada 2018 mencapai 29.504 ekor. Pada 2021, diperkirakan angka ini akan meningkatkan menjadi 2.861.326.
Sebagian besar kucing-kucing jalanan ini dulunya merupakan hewan peliharan yang dirawat oleh pemiliknya. Seperti kucing ras yang lama-kelamaan sudah tidak sebagus dulu atau terlalu berat untuk dirawat akhirnya dibuang. Kucing lokal yang dipandang jelek pun menjadi mayoritas kucing-kucing terlantar. Alhasil, kucing-kucing malang ini kemudian pergi ke luar untuk mencari makan dan tempat berlindung.
Seperti anjing, kucing mendapat perilaku kekerasan dari warga setempat yang tidak suka dengan keberadaan kucing yang berkeliaran. “Biasanya kucing-kucing ini disiram air panas, dikawatin lehernya, ada juga yang ditimpuk batu. Tabrak lari juga sering. Beberapa kucing ini juga dibuang ke pasar lalu diberi racun sampai mati,” cerita Dita Agusta, pemilik Rumah Kucing Parung.
Prioritas Tidak Jauh Dari Keuntungan Pribadi
Perilaku tidak “berperikehewanan” terhadap hewan sebenarnya telah menjadi hal yang normal di Indonesia. Bahkan, hal ini dianggap “halal” dan dimanfaatkan untuk meraup keuntungan pribadi. Salah satu contoh nyata yang terlalu sering kita temui ialah proses breeding hewan, terutama breeding anjing.
Bukan hal yang baru untuk menemukan penjual anjing yang berbisnis di pinggir jalan. Salah satunya dapat ditemui di Jalan Dr. Otten, Bandung, Jawa Barat.
Anjing-anjing yang dijual di tempat ini rata-rata masih berumur dua bulan. Pembelian anjing juga tidak disertai dengan sertifikat karena penjual mengaku bahwa anjing campuran tidak bisa didaftarkan untuk memiliki sertifikat. Selain itu, hampir seluruh anjing yang dijual juga belum mendapatkan vaksin.
“Baru obat cacing, vaksin nanti 5 bulan (baru bisa) vaksin,” jelas salah satu penjual di jalan tersebut.
Kondisi anjing yang dijual sendiri beragam. Ada yang tertidur dalam kondisi lemas dan ada pula terlihat memiliki kelainan di bagian kaki depannya. Di atas semuanya, semua anjing ini disatukan dalam kerangkeng dan tidak terlihat adanya wadah untuk memberi minum anjing. Keadaan yang serupa juga bisa dilihat pada penjual anjing jalanan di Surabaya.
Di Surabaya, anjing-anjing yang dijual juga dalam kondisi terkerangkeng tanpa wadah air minum. Anjing yang dijual rata-rata berumur dua bulan dan hanya diberi obat cacing, tanpa vaksin. Ketika ditanya, penjual juga menjelaskan hal yang sama.
“Masalahnya, vaksin itu gak menjamin. Ada sering anjing yang orang beli di kita, anjing sehat, baru divaksin mati. Jangan divaksin. Anjing itu nanti kalau umur 4–5 bulan baru divaksin,” jelas seorang penjual anjing di Surabaya.
Padahal, melansir dari Halodoc, vaksinasi untuk anjing dapat berguna untuk menghindarkan anjing dari berbagai penyakit yang berpotensi fatal, salah satunya Parvovirus. Menurut Alodokter, Parvovirus merupakan sebuah penyakit yang menyerang saluran pencernaan anjing dan justru berisiko menyerang anjing berusia 4 bulan ke bawah yang belum divaksinasi.
Ketika ditanya mengenai proses breeding dari anjing-anjing yang dijual ini, penjual anjing di Surabaya tersebut mengaku bahwa dirinya memiliki pengalaman melakukan proses breeding sendiri dan telah bekerja cukup lama di bidang ini.
“Semua breeding itu pemaksaan. Karena kalau anjing sudah waktunya kawin, 11 hari setelah mens, harus dikawinkan. Kalau tidak dikawinkan, ya dia nggak bisa kawin. Pokoknya setahun anjing kawin dua kali,” jelas penjual anjing yang memiliki pengalaman breeding tersebut.
Hal ini kemudian dapat terkonfirmasi lebih lanjut ketika kami mengunjungi sebuah breeder anjing Alaskan Malamute di Surabaya. Sebut saja Penjual C.
Tidak secara khusus menjual jenis Alaskan Malamute saja, Penjual C juga memiliki anjing jenis lain seperti Mini Pomeranian, Maltese, dan Golden Retriever. Untuk anjing ras murni seperti yang dijualnya, dia telah menyediakan vaksin, obat cacing, dan pembelian anjing juga disertai stambum (sertifikat kelahiran anjing).
Di tempat Penjual C ini, para anjing rata-rata juga dikawinkan tiap 6–8 bulan. Untuk proses pengawinannya sendiri, Penjual C “menyewa” pasangan kawin sang anjing yang ingin dikawinkan dan menyerahkan kedua anjing tersebut pada seorang pawang anjing yang akan membantu mereka kawin.
Hal ini tentu berkonflik dengan kutipan pemilik Rumah Singgah TPP, Ting Ping Ping.
“Dia peras itu anjing! Anjing kan memang masa suburnya dua kali setahun. Berarti dia maksimalkan itu [perkawinan] anjingnya! Kemudian, jangan dipikir anjing tidak patah hati bila anaknya dijual, ya,” ungkap Ting Ping Ping.
Tak berhenti di eksploitasi reproduksi hewan, masih ada peternakan hewan, terutama anjing, yang justru berfungsi sebagai rumah potong untuk memenuhi keperluan pemasok daging anjing.
Konsumsi dan penjualan daging anjing sendiri, meskipun sempat “dilarang” di beberapa tempat, masih terus berjalan di Indonesia. Salah satunya yaitu di suatu rumah makan khas Batak dan Manado yang terletak di Surabaya.
Ketika sumber pasokan daging anjing di rumah makan tersebut dipertanyakan, pemilik rumah makan menyatakan bahwa pemasok merupakan tempat langganannya, sebuah peternakan anjing. Untuk membeli daging anjing dari tempat tersebut, diperlukan pemesanan dalam jumlah besar, yaitu kira-kira minimal 30 kg.
Distribusi kontak tempat penjualan daging anjing dirahasiakan oleh para rumah makan kliennya sehingga keberadaan tempat seperti ini hanya diketahui pihak pembeli. Akibatnya, keberadaan peternakan anjing menjadi kurang disadari oleh masyarakat dan pemerintah.
Penegakan Hukum Hewan: Adakah Implementasi Nyata?
Hewan Juga Bisa Jadi Korban Kekerasan Seksual
Pada dasarnya, hewan tidak memiliki kemampuan untuk memberikan persetujuan, sebagaimana layaknya manusia. Dalam hukum pidana, pengertian ‘pemerkosaan’ yang diatur dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu “memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan”. Dari pengertian tersebut, yang menjadi unsur terpenting dalam pemerkosaan ialah pemaksaan.
Menurut Fiolita Berandhini, seorang advokat satwa Indonesia sekaligus perintis Animals Don’t Speak Human, proses breeding hewan juga secara etik masuk ke dalam pemerkosaan. Secara alami, ketika hewan ingin bereproduksi, mereka seharusnya melakukannya secara natural.
Tidak seharusnya ada dorongan atau paksaan dari pihak lain — dalam hal ini manusia. Titik permasalahan terletak pada bagaimana dalam tindakan tersebut, hewan tidak mampu menyatakan persetujuan mereka dan keluar dari situasi tersebut.
“Kita harus lihat dari sisi bagaimana hewan tersebut diperlakukan, berapa kali hewan itu dipaksa untuk kawin dan melahirkan. Kondisi induknya seperti apa, karena kebanyakan breeding memaksa induk untuk terus bereproduksi hingga induk itu bisa dibilang tidak berdaya,” jelas Fiolita.
Dalam mendalami permasalahan breeding, hal ini dikonfirmasikan lebih lanjut kepada Drh. Eka Dewi Wulandari, seorang dokter hewan sekaligus founder dari Pet Vet Animal Clinic Indonesia.
Berdasarkan penjelasan dari Drh. Eka, proses breeding yang dilakukan oleh para breeder ini tidak baik untuk dilakukan dan menyalahi kesejahteraan hewan.
“Dengan dia (induk anjing) terus direproduksikan, secara kesehatan bisa menyebabkan banyak hal. Bisa menyebabkan infeksi rahim atau endometritis, bisa terkena kista karena terlalu diforsir, jadi banyak hal tidak baik yang akan terjadi pada induk dan juga berpotensi berpengaruh pada anak-anak yang dihasilkan.”
Menurutnya, proses breeding yang salah ini masih terus dinormalisasikan karena belum adanya hukum dan regulasi yang jelas.
“Kalau di luar negeri, sudah jelas regulasinya. Dari segi kesehatan itu sendiri, hewan itu siap atau matang untuk bereproduksi dan siap secara mental itu ketika berusia di atas 2 tahun dan sebaiknya berhenti di usia 6 tahun untuk ras kecil serta 4 tahun untuk ras besar,” ujar Drh. Eka.
Secara medis, proses breeding anjing tidak seharusnya dilakukan pada setiap siklus, yaitu 6 bulan sekali. Proses breeding yang salah dapat membahayakan kesehatan induk dan anak-anak yang dilahirkan.
Drh. Eka menjelaskan, “Bukan berarti karena siklusnya 6 bulan sekali, jadi setiap 6 bulan sekali dikawinkan. Masa buntingnya saja 2 bulan, membesarkan anaknya juga kurang lebih 2 bulan. Artinya, totalnya 4 bulan. Lalu, setelah 2 bulan dia akan kembali memasuki siklus kawin lagi. Namun, secara medis, seharusnya siklus kawin ini di-skip. Tetapi yang terjadi adalah kebanyakan langsung dikawinin lagi, tidak diberikan jeda (istirahat). Itu tidak benar.”
Sederet Pelanggaran Perdagangan Daging Anjing
Pelanggaran juga banyak terjadi dalam proses jual-beli daging anjing. Pertama, pada dasarnya, daging anjing tidak tergolong dalam golongan bahan pangan atau daging untuk dikonsumsi secara undang-undang.
Kedua, perlu adanya peninjauan lebih lanjut terhadap proses penyembelihan atau penjagalan anjing. Bagaimana cara oknum-oknum ini menyembelih anjing-anjing itu tidak sesuai dengan cara yang seharusnya. Kenyataannya, di Indonesia sendiri masih banyak oknum yang menyembelih dengan cara yang tidak memenuhi standar regulasi akibat kurangnya pengawasan dan edukasi dari pemerintah.
“Anjing-anjing ini disembelih dengan cara kekerasan, seperti dipukul dan sebagainya. Ini sudah melanggar,” jelas Fiolita.
“Jika merujuk secara hukum, proses penyembelihan ini juga seharusnya dilakukan di rumah pemotongan hewan. Itu ada aturannya. Namun, rumah pemotongan hewan yang diatur dalam hukum hanya hewan ternak seperti ayam, kambing, sapi, dan hewan yang umum dikonsumsi. Dalam konteks ini, anjing tidak termasuk dalam kategori. Dan yang banyak terjadi adalah anjing-anjing ini disembelih di mana saja, disembelih di tempat-tempat yang tak berizin,” lanjutnya.
Tak berhenti di situ, pelanggaran terus terjadi hingga dalam proses transportasi dan pengedaran. Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 2014 Pasal 36B hingga Pasal 58, daging yang diedarkan untuk kebutuhan konsumsi masyarakat harus disertai dengan surat keterangan dari dokter hewan yang menyatakan bahwa daging tersebut sudah melalui berbagai macam tes dan skrining kesehatan.
“Info yang saya dapatkan dari teman-teman LSM yang melakukan investigasi adalah anjing-anjing yang didapat itu bukan seperti sapi dan ayam yang diternak sendiri. Anjing-anjing ini kebanyakan mereka ambil atau curi dari lingkungan sekitar mereka dan rumah-rumah. Tidak melalui skrining atau tes kesehatan apapun,” ujar Fiolita.
Menanggapi hal tersebut, Drh. Eka juga menyatakan hal serupa, “Ketika ada bahan pangan, ada yang namanya NKV atau Nomor Kontrol Veteriner. NKV ini dikeluarkan oleh dinas, menyatakan bahwa daging itu aman untuk dikonsumsi, sudah melalui pengecekan dari pemerintah.”
“Anjing itu bukan bahan pangan. Maka dari itu, anjing tidak memiliki NKV. Jadi, sudah pasti tidak melalui prosedur. Tentu saja ilegal,” tegasnya.
Dalam proses distribusi daging anjing, juga terdapat sejumlah pelanggaran yang terjadi. Anjing-anjing ini dikirim dari satu daerah ke daerah lain. Padahal, setiap daerah di Indonesia memiliki regulasi status rabies yang berbeda-beda.
“Ini juga melanggar karena ketika kita mau membawa atau mengirim hewan hidup dari satu wilayah ke wilayah lain, terutama hewan penular rabies, itu ada aturan ketat yang harus dipenuhi oleh si pembawa,” jelas Fiolita.
Menurut Fiolita, pada kenyataannya, anjing-anjing ini biasanya diangkut dalam satu truk pick up dalam kondisi terkurung dan dimasukkan ke dalam karung. Hal ini juga melanggar undang-undang kesejahteraan hewan yang mengatur mengenai proses transportasi hewan, yang seharusnya dilakukan dalam kandang yang membuat mereka nyaman.
Permasalahan konsumsi daging anjing dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan ini tidak hanya berpengaruh pada kesejahteraan hewan, tetapi juga berpotensi membawa dampak besar bagi kesehatan manusia karena adanya penyakit yang berisiko tertular ke manusia, seperti rabies dan toksoplasma.
Merujuk pada laporan dari World Health Organization (WHO), potensi penularan rabies tinggi pada kelompok pekerja yang menangani dan menyembelih hewan terinfeksi rabies atau menangani materi lain yang terinfeksi virus rabies, seperti para penjagal atau pedagang daging anjing.
Begitu pula dengan toksoplasma, penyakit ini juga berpotensi menular pada manusia ketika mengonsumsi daging anjing yang tidak sesuai dengan prosedur dan tidak melalui skrining kesehatan.
“Jadi, ketika anjing positif toksoplasma, penyakit ini hidup di daging dan di otot anjing tersebut. Itulah yang menyebabkan daging anjing berpotensi memiliki kista toksoplasma. Ketika kita mengonsumsi daging itu, kita juga berpotensi tertular toksoplasma,” tutur Drh. Eka menjelaskan.
Kepastian Hukum yang Tak Kunjung Datang
Berbagai wawancara kami jalani, beragam narasumber kami temui, tetapi tak ada satupun dari mereka yang telah merasakan upaya pemerintah dan peran hukum secara optimal dalam permasalahan kesejahteraan hewan. Bila pun ada, pengaruh yang dirasakan masih sangat minim, terutama dalam segi implementasi penegakan hukum.
Hal ini juga dialami oleh Dona, salah seorang anggota komunitas Peduli Kucing Jalanan Terlantar (PKJT).
“Untuk penanganan permasalahan penganiayaan terhadap hewan masih sangat kurang, untuk manusia saja masih begitu apalagi hewan,” ujar Dona sambil tertawa tipis.
“Banyak rekan yang cerita, pernah ada kasus kucingnya dianiaya oleh tetangga, tetapi ketika melapor, malah ditertawakan oleh aparat kepolisian. Padahal ‘kan ada undang-undang yang mengatur tentang kekerasan terhadap hewan.”
“Kalau tidak diviralkan dulu, susah. Kalau sudah diviralkan, baru tuh bisa sampai ditindak pidanakan,” lanjut Dona.
Menanggapi hal tersebut, menurut Fiolita, hukum di Indonesia sebenarnya sudah ada. Namun, sifatnya yang masih sangat bias dan general, sering kali menyulitkan aparat dan lembaga hukum untuk bisa mengetahui tindakan-tindakan seperti apa saja yang termasuk dalam tindakan pelanggaran kesejahteraan hewan.
Bahkan, penegak hukum sendiri masih banyak yang belum menyadari, apalagi mengerti mengenai keberadaan hukum yang mengatur hal tersebut sehingga laporan yang masuk sering kali tidak ditindaklanjuti.
“Banyak kasus di mana institusi pemerintah dan kepolisian menolak laporan masyarakat. Itu juga dikarenakan edukasi dan pengetahuan mereka mengenai permasalahan ini yang masih sangat rendah. Mereka sendiri tidak paham dengan kesejahteraan hewan dan pemenuhannya seperti apa, tidak tahu bagaimana harus menindaklanjuti laporan-laporan itu,” jelas Fiolita.
Titik utama dari permasalahan kekerasan hewan liar adalah overpopulasi. Ketika binatang berkeliaran dengan jumlah yang sangat banyak, keberadaan mereka dapat saja tidak dihargai lagi. Bahkan, dalam beberapa situasi malah menghambat dalam kehidupan manusia.
Dapat diambil contoh, serangga seperti belalang jika jumlahnya terlalu banyak, justru malah merugikan dalam proses pertumbuhan tanaman sehingga harus dibasmi. Di masa depan, kucing dan anjing juga dapat demikian jika jumlahnya terus-menerus bertambah.
Tak hanya itu, masyarakat masih memahami kekerasan terhadap hewan hanya sebatas memukul dan membunuh. Nyatanya, perilaku seperti tidak memberi makan yang layak pada hewan, tidak memberikan istirahat yang seharusnya hewan itu dapatkan, dan segala tindakan yang membuat hewan tidak menerima pemenuhan kesejahteraan yang sebagaimana mestinya juga termasuk dalam kekerasan terhadap hewan.
Masyarakat Indonesia masih sering kali menormalisasikan hal-hal terkait dengan kekerasan hewan. Contoh sederhananya adalah bagaimana budaya topeng monyet dan delman masih dipandang sebagai sumber hiburan. Padahal, hewan-hewan ini dijerat oleh rasa sakit, takut, dan lapar setiap harinya. Manusia berlindung dibalik kata “melatih” untuk mengeksploitasi dan menyakiti hewan-hewan ini.
Masyarakat Perlu Ikut Andil dalam Penyelesaian
Setelah mengetahui realita penganiayaan hewan yang telah terjadi di Indonesia. Beberapa mungkin bertanya-tanya, mengapa hal ini perlu diperhatikan?
Layaknya manusia, hewan memiliki hak yang sama untuk hidup. Jika manusia mampu mengerti dan sadar bahwa dirinya bukan makhluk yang paling superior, kekerasan terhadap hewan tentu akan berkurang.
“Semua manusia harus mampu menyadari bahwa hak hidup kita, hewan, dan tumbuhan itu sama. Kalau semua manusia menyadari hal ini, meskipun dia hanya memelihara satu kucing saja, pasti tidak ada kekerasan hewan terlantar,” ujar Dita, pendiri Rumah Kucing Parung.
Agar pemikiran seperti ini dapat tertanam edukasi menyeluruh perlu terus digencarkan, seperti mendidik anak-anak bahwa keberadaan hewan perlu disadari dan diperlakukan secara baik. Anggapan bahwa perlakuan kasar terhadap hewan, terutama ketika hewan dirasa mengganggu manusia, adalah hal yang normal perlu disingkirkan jauh-jauh.
Pemerintah dapat berkontribusi dalam hal ini dengan menyiarkannya dalam televisi-televisi nasional. Sebagai masyarakat biasa, gaungkan urgensi ini ke media sosial.
Langkah selanjutnya, lakukanlah sterilisasi terhadap hewan-hewan liar di jalanan. Gunanya, agar mereka tidak berkembang biak terus-menerus dan akhirnya mengganggu pola kehidupan manusia.
“Jika populasinya terlalu banyak, anjing dan kucing dapat mengganggu masyarakat. Karenanya, perlu dilakukan sterilisasi,” ujar Ting Ping Ping.
Kemudian, bagi para pemilik hewan, rasa tanggung jawab dalam merawat hewan perlu untuk ditanamkan sebelum memeliharanya. Penting untuk sadar bahwa memelihara mereka hingga tua merupakan kewajiban, bukan hanya melihat sisi kelucuannya saja.
Terakhir, perlu disadari bahwa insting hewan adalah mencari makan dan melindungi dirinya. Sebagai manusia, pengertian akan hal ini krusial untuk diimplementasikan.
“Masalah terbesar adalah terkadang hewan harus mengalami kekerasan karena perilaku mereka yang seharusnya demikian [naluri alamiah]. Pada dasarnya, tidak ada hewan yang ingin ditelantarkan. Masyarakat Indonesia cenderung suka mengatakan bahwa anjing dan kucing itu najis, haram, dan lain-lain. Padahal, mereka juga memiliki hak hidup. Kalau mereka tidak menyakiti, manusia tidak perlu menyakiti juga,” tutup Ting Ping Ping.
Karya ini dipublikasikan untuk kepentingan ujian akhir semester mata kuliah Indepth and Investigative Reporting mahasiswa Jurnalistik 2020, Universitas Multimedia Nusantara.
Narasumber: Pejaten Shelter, Rumah Singgah Ting Ping Ping, Peduli Kucing Jalanan Terlantar, Rumah Kucing Parung, Rumah Steril, Animals Don’t Speak Human, Drh. Eka Dewi Wulandari
Sumber: cnnindonesia.com, vice.com, mongabay.co.id, idntimes.com, pikiran-rakyat.com, kompas.com, antaranews.com, bbc.com, tirto.id, halodoc.com, alodokter.com, kumparan.com, dokterhewan.co.id
Reporter: Charina Elliani, Dimitri Quiny Joanita, Estefany Fortuna Chandra, Keisya Librani Chandra, Zefanya Abigail Pardede
Daftar Pustaka
https://antakara.medium.com/penganiayaan-hewan-rantai-normalisasi-yang-tak-berkesudahan-2f3048713ef3