Perlindungan Monyet

PERLINDUNGAN MONYET EKOR PANJANG DAN BERUK

Monyet ekor panjang (Macaca Fascicularis) dan beruk (Macaca Nemestrina) terus menghadapi ancaman eksploitasi, penyiksaan, dan perdagangan. Meski sejak tahun 2022 status monyet ekor Panjang dan beruk oleh IUCN sudah dinaikkan dari rentan menjadi terancam punah, namun pemerintah masih menutup mata pada sejumlah tindakan eksploitatif yang terjadi bertubi-tubi terhadap kedua spesies primata yang memiliki peran penting untuk keberlanjutan lingkungan.  

Kenapa Penting Menetapkan Monyet Sebagai Satwa Dilindungi?

Karena statusnya tidak dilindungi, maka tidak ada aturan hukum yang jelas dan mengikat untuk melindungi spesies ini, sehingga hal ini juga menjadi faktor penyebab penurunan populasinya. Padahal berdasarkan data Internasional Union for Conservation of Nature (IUCN), monyet ekor panjang kini berstatus terancam punah (endangered). Dalam kurun waktu 42 tahun terakhir, populasi monyet ekor panjang menyusut hingga 40 persen. 

Tanpa memasukkan kedua primate ini dalam daftar hewan dilindungi, maka sama saja tidak ada perlindungan hukum bagi mereka, alhasil upaya penyelamatan dan rehabilitasi monyet ekor panjang dan beruk tidak akan maksimal. Pelaku kejahatan terhadap monyet ekor panjang dan beruk sering kali lolos karena kekosongan perlindungan hukum. Pasalnya, peraturan yang ada saat ini hanya dapat memproses kasus kejahatan satwa bila satwa masuk ke dalam kategori satwa liar dilindungi. Maka sudah seyogyanya monyet ekor panjang dan beruk ditetapkan menjadi satwa liar dilindungi. 

Hingga saat ini, monyet ekor panjang dan beruk terus diperdagangkan secara bebas. Masyarakat masih melihat monyet ekor panjang sebagai hama di lahan pertanian di sekitar habitat. 

Di Gunung Kidul, Yogyakarta, terdapat ‘konflik’ menahun antara petani dan monyet ekor panjang. Hal ini disebabkan oleh menyusutnya habitat monyet akibat pembangunan untuk pariwisata, perkebunan, pertanian, dan perumahan. Monyet ekor panjang pun harus masuk ke ladang warga untuk mencari makanan karena sumber makanan di habitat yang semakin sempit.  Pemerintah harus memikirkan alternatif mitigasi lainnya, timbulnya ‘konflik’ harus dinilai secara keseluruhan termasuk fragmentasi habitat. 

Laporan dari Social Media Animal Cruelty Coalition (SMACC) menyatakan pada 2021, Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara dengan pengunggah video penyiksaan hewan terbanyak di dunia, yakni 1.626 konten—banyak di antaranya adalah video yang melibatkan penyiksaan terhadap monyet dan beruk. 

Hingga 2024, ADSH mencatat pengaduan masyarakat, 43% dari 192 diantaranya mengadukan keberadaan monyet yang dijadikan peliharaan manusia. Kondisi monyet yang dilaporkan beragam, 132 laporan menyebutkan kondisi monyet/beruk yang dirantai dan 67 lainnya dikurung dalam kerangkeng. Di sisi lain, penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan dan eksploitasi monyet ekor panjang dalam kurun waktu 2014 hingga 2022 sangat sedikit. Merujuk pada Sistem Informasi Perkara Pengadilan (SIPP) Mahkamah Agung tercatat hanya ada 5 kasus yang divonis majelis hakim.   

Pemeliharaan monyet ekor panjang dan beruk tidak hanya mengancam satwa, dan keberlanjutan lingkungan, tetapi juga mengancam manusia. Ancaman zoonosis merupakan hal yang perlu menjadi perhatian penting karena perdagangan monyet untuk pemeliharaan berpotensi besar menularkan sejumlah penyakit yang membahayakan kesehatan manusia. 

Kegiatan Kami

Kembali Terlihat, Kawanan Monyet Melakukan Protes bersama Menteri dan Sejumlah Influencer di Kantor KLHK
Unjuk Rasa Peduli Satwa Primata di Kedubes AS
Organisasi Pelindung Satwa Minta Pemerintah Lindungi Monyet