Bali, 3 Juli 2025 – Animals Don’t Speak Human (ADSH) bersama World Animal Protection (WAP) dan beberapa organisasi kesejahteraan hewan lain seperti Tambuyog Development Center (TDC), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Perkumpulan Ayam Sejahtera (PASI), Evergreen School Ventures, Centre for Marinelife Conservations and Community Development (MCD), Institute of Research and Application of Advance Biotechnology-IRAAB, Patom Organic Living, Universitas Udayana dan Sintesia Animalia melakukan kunjungan ke Telur Saudara, peternakan yang dikenal sebagai salah satu pelopor sistem cage-free di Bali. Kunjungan ini menjadi bagian dari upaya kolaboratif untuk mendorong praktik peternakan ayam petelur yang lebih etis dan memperhatikan kesejahteraan hewan.
Mark Dia, International Director of Campaign Strategy WAP, menjelaskan bahwa Indonesia memiliki jumlah ayam petelur dan tingkat konsumsi telur tertinggi di kawasan Asia. Artinya, jika Indonesia mulai beralih ke sistem cage-free, dampaknya bisa lebih besar dibanding negara lain. “Dari sudut pandang ayam itu sendiri, perubahan di Indonesia bisa memberikan efek yang jauh lebih signifikan dibanding negara lain,” jelasnya.
Ia juga menyoroti bahwa rendahnya kesadaran masyarakat terhadap isu kesejahteraan hewan menjadi tantangan tersendiri. Mengingat penggunaan bahan dasar dari telur begitu lekat dalam konsumsi sehari-hari masyarakat khususnya pada makanan seperti nasi goreng, mi goreng, hingga berbagai makanan populer lainnya. Sehingga edukasi mengenai isu telur bisa menjadi pintu masuk yang efektif untuk membangun kesadaran publik. Selain itu, transisi ke sistem cage-free bukanlah hal yang asing secara global. Banyak merek besar internasional yang sudah lebih dulu berkomitmen untuk meninggalkan sistem kandang baterai, termasuk merek-merek yang dikenal luas di Indonesia. “Peluangnya sudah ada. Yang dibutuhkan sekarang adalah upaya advokasi yang fokus dan konsisten agar komitmen serupa bisa terjadi di sini,” tutupnya.
Di sisi lain, masih banyak anggapan bahwa kandang baterai lebih bersih dan aman karena lebih tertutup dari penyakit, predator, dan memungkinkan pengawasan individu. Namun, menurut Ir. Lalu Salsabiel Oky Syaputra, S.Pt., Animal Welfare Specialist ADSH, fakta ilmiah menunjukkan sebaliknya. “Keterbatasan gerak dan kurangnya stimulasi lingkungan menyebabkan stres kronis, gangguan tulang, dan cedera fisik. Bahkan versi kandang yang lebih modern seperti enriched cages tetap tidak bisa menggantikan kebutuhan dasar ayam sebagai makhluk hidup,” jelasnya. Ia menekankan pentingnya edukasi untuk meluruskan pandangan ini, termasuk kepada konsumen, produsen, dan pembuat kebijakan. “Yang perlu dipahami adalah bahwa kesejahteraan hewan tidak hanya soal produksi, tapi soal menghormati kebutuhan alaminya. Sistem cage-free, bila dikelola dengan baik, bisa memberikan lingkungan yang lebih sehat, etis, dan berkelanjutan bagi ayam petelur,” tambahnya. Karena itu, ia juga mendorong adanya kebijakan nasional yang lebih berpihak pada kesejahteraan hewan, agar perubahan sistem ini tak hanya bergantung pada inisiatif individu.
Selama kunjungan, para peserta diajak melihat langsung kondisi ayam petelur yang hidup tanpa kurungan sempit seukuran kertas A4. Peternakan yang dikunjungi kali ini menggunakan sistem umbaran (free range), yang memungkinkan ayam-ayam jenis brown leghorn bergerak bebas di ruang terbuka, mengais tanah, dan menikmati sinar matahari sesuai perilaku alaminya.
Febiyana, MPACS., Program Manager Cage-Free ADSH, menekankan bahwa kunjungan lapangan seperti ini merupakan salah satu strategi kampanye paling efektif dalam mendorong transformasi sistem peternakan ayam di Indonesia. Menurutnya, kunjungan langsung memberikan bukti konkret bahwa sistem cage-free bisa dijalankan secara nyata dan sukses bahkan di kawasan seperti Bali. Hal ini penting untuk menjawab keraguan banyak peternak yang masih belum familiar atau bahkan pesimis terhadap sistem ini.
“Dengan melihat langsung operasional harian, desain kandang, manajemen pakan dan ventilasi, hingga kondisi ayam yang tetap sehat tanpa dikurung, para peserta perwakilan organisasi kesejahteraan hewan bisa mendapat gambaran realistis bahwa perubahan itu memungkinkan,” jelasnya. Selain edukatif, kunjungan ini juga membuka ruang diskusi informal seperti pengalaman soal tantangan, solusi teknis, bahkan strategi pengelolaan kotoran dan bau, hal-hal yang sering jadi kekhawatiran di awal transisi.
Lebih jauh, ia menyebut bahwa kegiatan seperti ini juga bisa menghubungkan peternak dengan pemangku kepentingan lain seperti lembaga donor internasional, dan organisasi masyarakat sipil lokal maupun regional kawasan Asia Tenggara. Ketika masyarakat mulai memahami secara langsung standar kesejahteraan hewan seperti pentingnya ruang gerak, akses ke tempat bertengger, dan sarang, mereka dapat mulai berpikir kritis dan bertanggung jawab atas sumber pangan yang mereka konsumsi sehari-hari. Tentunya hal tersebut dilakukan secara bertahap.
“Banyak pemahaman yang berkembang dikalangan masyarakat, seperti anggapan bahwa peternak akan merugi dikarenakan produksi telur yang menurun apabila menggunakan sistem peternakan cage-free. Kunjungan ini membantu meluruskan itu semua, memberi inspirasi, dan menunjukkan bahwa sistem cage-free bisa berkelanjutan, beretika, dan tetap menguntungkan,” tambahnya.
Pak Andy, pemilik Peternakan Telur Saudara, menjadi contoh nyata transisi yang berhasil. Awalnya, ia menggunakan sistem kandang baterai. Namun, setelah menyadari bahwa sistem tersebut tidak manusiawi, ia memutuskan untuk beralih. “Ayam-ayam ini dirawat sejak kecil. Tapi saat mereka besar, justru hanya dijadikan mesin penghasil telur. Ayam itu bukan robot. Mereka makhluk hidup yang juga butuh ruang dan kebebasan,” katanya.
Transformasi ke sistem cage-free dimulai beberapa tahun lalu. Pak Andy melakukan perombakan secara bertahap: dari perbaikan kandang, peningkatan standar kebersihan, hingga pelatihan staf untuk memahami manajemen pemeliharaan ayam secara lebih holistik. Kini, Telur Saudara memiliki dua peternakan: satu menggunakan sistem cage-free dan satu lagi yang menggunakan sistem free range.
Perubahan ini membawa dampak signifikan, baik terhadap kesejahteraan ayam maupun hasil produksi. Kondisi ayam menjadi lebih sehat dan aktif, angka kematian menurun serta kualitas telur pun meningkat. Ayam-ayam diberikan ruang gerak lebih luas, akses terhadap cahaya alami, serta enrichments seperti tempat bertengger dan area untuk mandi debu.
Perubahan sistem ini juga menjawab meningkatnya permintaan pasar terhadap telur cage-free di Bali, terutama dari hotel, restoran, dan konsumen yang peduli pada lingkungan dan kesejahteraan hewan. Peternakan free range Telur Saudara kini memproduksi sekitar 75 rak telur per hari atau setara 67.500 butir telur per bulan, dengan permintaan yang meningkat signifikan pada musim liburan seperti Mei–Agustus dan menjelang akhir tahun.
Sesi diskusi setelah kunjungan diwarnai apresiasi dari para peserta terhadap keberanian Telur Saudara dalam melakukan transformasi menuju sistem cage-free. Mereka berharap langkah progresif ini dapat menginspirasi peternak lain di Indonesia untuk mengikuti jejak serupa. Untuk mendukung hal tersebut, ADSH dan World Animal Protection menegaskan komitmennya dalam memberikan pendampingan melalui pelatihan, riset, serta advokasi kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan hewan.
Dokumentasi dapat diakses pada Visit Farm Documentation
Animals Don’t Speak Human – Organisasi kami menggabungkan pendekatan hukum, ilmu pengetahuan, dan kemitraan global untuk mengatasi tantangan perlindungan hewan secara holistik. Melalui pemanfaatan teknologi, penelitian lintas disiplin, dan advokasi kebijakan, kami memperjuangkan perubahan sistemik yang akan berdampak jangka panjang untuk menghapus spesiesisme. Dengan pendekatan holistik, kami memperjuangkan keadilan bagi semua makhluk hidup, termasuk manusia dan hewan, dalam keseimbangan ekosistem global. Melalui program pendidikan, pelatihan, dan kolaborasi lintas sektor, kami membantu masyarakat memahami dampak positif dari menghormati hak hewan terhadap kualitas hidup secara keseluruhan. Kami meyakini bahwa advokasi tidak hanya soal memperjuangkan hukum, tetapi juga menyadarkan masyarakat akan pentingnya hubungan yang harmonis antara manusia dan makhluk hidup lainnya.
World Animals Protection – Kami adalah World Animal Protection. Kami memiliki misi untuk mengakhiri kekejaman dan penderitaan terhadap hewan. Selamanya. Bukti menunjukkan bahwa hewan adalah makhluk berakal budi, makhluk individu yang merasakan sakit, takut, dan gembira. Namun, setiap hari, miliaran dari mereka mengalami kekejaman yang tak tertahankan. Mengutamakan hewan tidak hanya lebih baik bagi mereka, tetapi juga penting bagi kita dan planet kita bersama. Cari tahu apa yang dapat kami lakukan, dengan dukungan Anda, untuk mengakhiri kekejaman dan eksploitasi hewan ternak dan hewan liar.
Kontak Media
Febiola Rumangkang
Koordinator Komunikasi Kampanye
+6287770776609