Hari Hewan yang Diternakkan Sedunia atau World Day for Farmed Animals (WDFA) yang diperingati setiap tanggal 2 Oktober tiap tahunnya merupakan hari yang didedikasikan untuk meningkatkan kesadaran sekaligus dijadikan sebagai kampanye global akan pentingnya kesejahteraan hidup hewan yang diternakkan. Peringatan ini bertujuan untuk menekankan pentingnya pengakuan hewan yang diternakkan sebagai makhluk hidup yang dapat merasakan penderitaan, bukan hanya sekadar hewan sebagai komoditas (Singer, 1990).
Hewan yang termasuk kategori diternakkan adalah sapi, kerbau, kambing, babi, domba, bebek, ayam dan unggas lainnya, serta ikan budidaya. Berdasarkan World Animal Protection (WAP), ada setidaknya 80 miliar hewan darat yang diternakkan. Sekitar 56 miliar diantaranya diternakkan dalam skala industri (factory farming) dan dijadikan komoditas ekonomi untuk pemenuhan produksi hewani seperti daging, susu, telur, maupun produk turunannya. Compassion in World Farming (CIWF) menyebutkan bahwa hewan yang diternakkan rentan mengalami penderitaan yang tak berkesudahan karena adanya permintaan pasar yang tinggi untuk harga produk hewani yang lebih ekonomis sehingga berimplikasi pada industri peternakan untuk menghasilkan produk hewani dalam jumlah besar dan minim biaya, tanpa memperhatikan kesejahteraan hewan yang diternakkan.
Penderitaan yang dialami hewan yang diternakkan
Layaknya manusia dan makhluk hidup lainnya, hewan yang diternakkan pun dapat mengalami penderitaan semasa hidupnya. Praktik-praktik peternakan skala industri seringkali ditemukan melanggar prinsip-prinsip kesejahteraan hewan yang diantaranya: bebas dari rasa lapar dan haus; bebas dari rasa tidak nyaman; bebas dari rasa sakit dan penyakit; bebas untuk melakukan perilaku alamiah; dan bebas dari rasa takut dan stress. Dalam praktiknya, prinsip-prinsip tersebut kerap diabaikan. Masalah ini mulai dari proses pemeliharan hewan yang ditempatkan pada kandang sempit, pemberian antibiotik tanpa pengawasan veterinarian, proses transportasi hewan hidup lintas negara hingga menyebabkkan kelelahan, cidera, dehidrasi hingga menyebabkan kematian, serta penyembelihan hewan yang dilakukan serampangan dan tidak etis tanpa memperhatikan keadaan hewan yang diternakkan.
Masalah yang ada dalam sistem peternakan skala industri
Beberapa masalah yang saling berkaitan dengan ekosistem lingkungan dan hubungannya dengan manusia muncul disebabkan oleh industri-industri peternakan yang berorientasi pada produk hewani dalam jumlah yang masif.
1. Tingkat penderitaan hewan yang tinggi
Peternakan skala industri adalah sistem produksi hewan dengan skala besar dan intensif untuk memaksimalkan hasil produksi dengan menekan biaya operasional dan berorientasi pada kebutuhan pasar. Hewan yang diternakkan ditempatkan dalam ruang yang relatif kecil sehingga pergerakan terbatas dan minim akses ke area terbuka. Untuk pemenuhan nutrisi dan pakan, pakan utama tidak diperoleh dari padang di lokasi ternak melainkan melalui impor pakan ternak. Manajemen lingkungan dan penggunaan antibiotik atau obat pencegah penyakit pada hewan masih luput dari perhatian peternakan skala industri dengan dalih efisiensi dan efektivitas pekerjaan sehingga mengesampingkan kesejahteraan hewan yang diternakkan.
2. Kontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca
Merujuk ke publikasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tahun 2021, industri peternakan ikut andil dalam menyumbang emisi Gas Rumah Kaca (GRK) berupa gas metana (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O). Emisi ini bersumber dari sistem pencernaan dan pengelolaan kotoran ternak. Dalam pengelolaan peternakan industri, Novi Mayasari dkk mencatat bahwa peternakan industri masih berfokus untuk mencapai perbaikan kuantitas produksi dan belum dapat menjamin apakah aktivitas produksinya sudah memenuhi kesejahteraan hewan. Dalam konteks ini, hubungan antara kesadaran peternak dalam pemerhatian pengelolaan nutrisi, pencernaan, dan pengelolaan kotoran ternak akan berkontribusi sebagai penyumbang emisi GRK.
3. Deforestasi untuk ekspansi lahan pakan
Ekspansi lahan untuk kebutuhan industri peternakan berdampak besar terhadap eksistensi lahan hutan. World Resources Institute (WRI) mencatat bahwa dalam skala global, alih fungsi hutan menjadi padang rumput untuk ternak sapi menyebabkan deforestasi sekitar 45,1 juta hektar antara tahun 2001 hingga 2015. Xiaoing Xu dkk, menyebutkan bahwa dalam pengelolaan lahan peternakan dan perubahan penggunaan lahan peternakan berkontribusi sebagai penyumbang emisi GRK sebanyak masing-masing 38% dan 29%.
Interkoneksi kesejahteraan hewan dengan aspek lingkungan dan kehidupan manusia
Kesejahteraan hewan yang diternakkan berkaitan erat dengan aspek-aspek kehidupan. Mulai dari dampaknya ke lingkungan dalam penurunan penggunaan lahan untuk keperluan peternakan. Peternakan yang lebih etis mendorong adanya pengurangan konsumsi berlebih produk hewani dan memberi ruang bagi pangan alternatif berbasis nabati. Hal ini berdampak pada penurunan kebutuhan akan pembukaan lahan untuk pakan ternak. Selain itu, hewan yang diternakkan lebih etis cenderung lebih jarang memerlukan antibiotik dalam jumlah yang besar. Pengurangan penggunaan antibiotik dapat pula memengaruhi tingkat polusi farmasi di tanah dan perairan.
Penggunaan antibiotik berlebihan merupakan penyebab utama resistensi antimikroba (AMR) yang berdasarkan pernyataan WHO adalah ancaman kesehatan global serius. Peningkatkan kualitas sistem peternakan dan pemerhatian kesejahteraan hewan akan turut berefek positif pada penurunan risiko penyebaran penyakit zoonosis. Kesadaran akan kesejahteraan hewan pun ikut andil dalam mendorong masyarakat untuk lebih sadar pada pola makan berkelanjutan dan transisi menuju nutrisi nabati (plant-based nutrition) yang terbukti dalam artikel Biomed Center bermanfaat bagi kesehatan jantung, kanker, diabetes tipe 2, dan penurunan risiko kematian dini.
WDFA menjadi hari penting untuk merefleksikan kembali hubungan hewan yang diternakkan, lingkungan, dan manusia serta dampaknya untuk ekosistem global dan pola konsumsi yang berkelanjutan. Dengan tumbuhnya kesadaran akan penderitaan yang dialami hewan, mengetahui hak dan kebutuhan mereka, kontribusi industri peternakan terhadap kesejahteraan hewan, masyarakat mempunyai akses informasi dan pilihan untuk mendorong sistem pangan dan peternakan yang lebih etis, adil, dan berkelanjutan.
Nutrisi nabati sebagai alternatif pangan
Menurut Laporan PBB, pertumbuhan populasi dunia diproyeksikan akan mencapai 9,7 miliar pada tahun 2050. Dengan adanya bonus demografi tersebut, kebutuhan akan pangan akan serta meningkat.
Eksplorasi sumber nutrisi alternatif diperlukan di saat meningkatnya kebutuhan pangan global. Kebutuhan pangan yang meningkat utamanya pangan berbasis hewani mendorong intensifikasi industri peternakan yang berimplikasi ke banyak sektor kehidupan. Sumber nutrisi nabati menjadi alternatif utama yang relevan tidak hanya bagi kesejahteraan hewan, namun juga keberlanjutan ekosistem dan kesehatan manusia.
PubMed menyebutkan bahwa secara umum pola makan nabati menunjukkan jejak kerusakan lingkungan yang lebih rendah. Transisi menuju pola makan nabati turut andil dalam menekan emisi GRK, berkurangnya area tutupan lahan hutan akibat deforestasi, dan permintaan akan kebutuhan hewani dari praktik industri peternakan yang tidak mengedepankan kesejahteraan hewan.