(Jakarta, 29 Januari 2024)—Menyambut Hari Primata Indonesia yang jatuh pada tanggal 30 Januari 2024, Koalisi Primates Fight Back bersama segenap masyarakat sipil mengadakan aksi damai diiringi teatrikal di depan gedung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sebanyak 15 aktivis dan relawan terlihat berdiri memegang poster bergambarkan monyet yang dieksploitasi dengan tulisan “KLHK, Kenapa Terus Menutup Mata?” serta berisikan tuntutan kepada KLHK. Seorang aktivis lainnya, yang terlihat memegang spanduk bertuliskan “Tetapkan Monyet Sebagai Satwa Dilindungi”, mengenakan topeng wajah Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar dengan penutup mata hitam.
Aksi ini menjadi momentum untuk terus mendorong dan menagih Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengambil langkah serius dalam menghentikan perburuan maupun perdagangan serta melindungi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina) di Indonesia.
Tak hanya menampilkan poster dan spanduk tuntutan, pada aksi kali ini seniman pantomim Wanggi Hoed juga turut hadir menampilkan aksi teatrikal. Aksi tersebut menceritakan kisah perjuangan induk monyet menyelamatkan anaknya yang ditangkap oleh manusia. Harapannya agar tidak ada lagi monyet yang diperjualbelikan untuk dipelihara.
Juru bicara Koalisi Primates Fight Back sekaligus pendiri Animal Friends Jogja (AFJ) Angelina Pane mengatakan, “Sejak Maret 2022, The International Union for Conservation of Nature’s Red List of Threatened Species (The IUCN Red List) telah memasukkan kedua spesies ini ke dalam golongan terancam punah.” Lebih lanjut ia menyebutkan kondisi monyet ekor panjang dan beruk saat ini semakin memprihatinkan. “Meski sudah dua tahun sejak kedua status spesies satwa ini dinaikkan oleh IUCN dari rentan menjadi terancam punah, namun pemerintah sepertinya menutup mata pada sejumlah tindakan eksploitatif yang terjadi bertubi-tubi terhadap kedua spesies primata yang memiliki peran penting untuk keberlanjutan lingkungan,” lanjutnya.
Satu hari sebelum aksi, Minggu, 28 Januari 2024, aktivis dan relawan Koalisi Primates Fight
Back juga melakukan aksi damai pada saat Car Free Day (CFD) di kawasan Bundaran HI, Jakarta. Aksi ini dilakukan guna menyampaikan pesan kepada warga ibukota tentang eksploitasi yang dialami monyet di Indonesia, dan nyaris tidak ada tindakan dari KLHK untuk melindungi kedua spesies ini.
Tanggapan pemerintah terkait tuntutan yang disampaikan oleh koalisi
Setelah berhujan di depan gerbang Kementerian LHK, lima orang perwakilan Koalisi Primates Fight Back masuk menemui perwakilan KLHK, untuk menyampaikan tuntutan koalisi secara langsung. Perwakilan Koalisi Primates Fight Back disambut oleh Biro Humas dan Direktorat KKH Kementerian LHK.
Koordinator Garda Animalia, Satria, yang tergabung dalam koalisi mengatakan paradigma terhadap monyet ekor panjang hanya berfokus pada pemanfaatan. “Selama ini perdagangan maupun eksploitasi monyet seringkali disepelekan, padahal aktivitas ini merupakan kejahatan luar biasa dan upaya pemulihannya (rehabilitasi) membutuhkan biaya yang tidak sedikit.” Monyet kerap kali hanya dianggap sebagai sumber masalah disebabkan asumsi kelebihan populasi (overpopulation) sehingga perlu dilakukan penangkapan untuk mengatasi masalah tersebut. Tak berhenti di situ, monyet kerap kali dicap sebagai hama untuk lahan pertanian di sekitar habitat. “Tentu pemerintah harus memikirkan alternatif mitigasi lainnya, timbulnya ‘konflik’ harus dinilai secara keseluruhan termasuk fragmentasi habitat,” lanjutnya.
Staf Direktorat KKH Kementerian LHK mengapresiasi kehadiran Koalisi Primates Fight Back dalam upaya menjaga kelestarian satwa di Indonesia. Namun tercetus tentang sulitnya penanganan kawanan monyet yang merambah ladang untuk mencari makan di sekitar habitat. Langkah pemanfaatan (baca: penangkapan monyet untuk dimanfaatkan) dianggap sebagai upaya persuasif berimbang yang perlu ditempuh pemerintah.
Mengenai maraknya perdagangan ilegal dan eksploitasi monyet, staf Direktorat KKH Kementerian LHK mengharapkan peran aktif koalisi untuk upaya penyelamatan dan rehabilitasi. Pihaknya pun meminta koalisi ini dapat mengembangkan pusat rehabilitasi monyet ekor panjang untuk membantu pemerintah.
Menanggapi pernyataan tersebut, Fiolita Berandhini menyatakan akan percuma apabila penyelamatan dan rehabilitasi dilakukan jika nantinya monyet-monyet akan tetap diburu untuk diperdagangkan dan dieksploitasi karena tidak adanya perlindungan hukum.
Dari sejumlah laporan, dampak dari masifnya praktik jual beli kedua spesies ini melahirkan sejumlah perlakuan penyiksaan terhadap monyet maupun beruk yang dipelihara. Selain itu, praktik ini juga berpengaruh buruk terhadap populasi kedua jenis satwa tersebut yang ada di alam liar. “Maraknya komunitas pemelihara monyet juga menyumbang permasalahan yang meningkatkan jumlah perburuan satwa di alam,” ungkap Fiolita Berandhini. “Ancaman zoonosis merupakan hal yang perlu menjadi perhatian penting karena perdagangan monyet untuk pemeliharaan berpotensi besar menularkan sejumlah penyakit yang membahayakan kesehatan manusia,” lanjutnya.
Ayut, perwakilan dari masyarakat sipil yang turut hadir dalam audiensi menyampaikan keresahannya dalam menyikapi dampak psikologis yang ditimbulkan terhadap anak-anak apabila melihat sejumlah tindakan eksploitasi terhadap monyet dan beruk yang berseliweran di media sosial.
Kondisi monyet ekor panjang dan beruk saat ini sangat minim perhatian karena pelaku kejahatan acap kali lolos. Peraturan perundang-undangan saat ini hanya dapat diterapkan apabila satwa tersebut masuk ke dalam kategori satwa liar dilindungi. Maka sudah seyogyanya monyet ekor panjang dan beruk ditetapkan menjadi satwa liar dilindungi.
TUNTUTAN
Berdasarkan hal tersebut di atas, kami sebagai bagian dari Koalisi Primates Fight Back dalam memperingati Hari Primata Indonesia 2024, mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera:
- Menindaklanjuti temuan lapangan oleh berbagai LSM baik nasional maupun internasional terkait perdagangan monyet di Indonesia dengan paradigma kebijakan berpihak pada asas perlindungan;
- Menetapkan monyet ekor panjang serta beruk menjadi satwa liar dilindungi;
- Meningkatkan kerjasama lintas sektoral kementerian maupun badan lembaga lain untuk mengawasi serta menindak segala bentuk pemeliharaan, perburuan, perdagangan monyet ekor panjang dan beruk;
- Memberikan peringatan tegas kepada perusahaan penyelenggara e-commerce dan/atau social-commerce untuk menghentikan perdagangan monyet ekor panjang, beruk dan produk turunannya.
Lampiran
Terdapat sederet masalah terkait monyet ekor panjang dan beruk yang kami temukan di beberapa wilayah di Indonesia, di antaranya:
JAKARTA
Di Jakarta, Pasar Burung Jatinegara merupakan sentral tempat perdagangan satwa liar baik dilindungi maupun tidak, satu di antaranya adalah monyet ekor panjang. Berdasarkan pemantauan Garda Animalia di tahun 2021, terdapat 120 kios permanen dan 80 lapak yang beroperasi di pasar hewan ini. Tingginya minat masyarakat untuk membeli bayi monyet untuk dijadikan peliharaan dan konten media sosial menjadikan salah satu pasar penjual satwa ini tetap mendapat suplai bayi monyet dari berbagai wilayah di Indonesia. Hal itu dipicu, antara lain, oleh sejumlah pemengaruh (influencer) yang kerap membagikan konten video monyet peliharaannya di berbagai kanal media sosial.
YOGYAKARTA
Sejumlah ‘konflik’ menahun antara petani dan monyet ekor panjang terjadi terutama di Gunung Kidul, Yogyakarta akibat dari menyusutnya habitat monyet karena dibangun untuk keperluan pariwisata, perkebunan, pertanian dan perumahan. Tak cuma menyusut, secara kualitas habitat monyet juga terus mengalami penurunan daya dukung. Sumber makanan di habitatnya yang semakin sempit itu tak cukup lagi memenuhi kebutuhan mereka. Akibatnya mereka harus masuk ke ladang warga untuk mencari makan, yang sebenarnya awalnya merupakan habitat mereka.
Alih-alih menempuh upaya terbaik dan berkelanjutan dengan memperbaiki daya dukung habitat monyet, pemerintah malah mengizinkan penangkapan dengan klaim overpopulasi meskipun tanpa adanya survei populasi yang valid dan saintifik. Proses penangkapan seringkali dilakukan dengan cara yang brutal seperti terlihat di rekaman yang dirilis organisasi Action for Primates.
BALI
Di Bali sendiri, memasukkan kedua spesies yang tergolong sebagai hewan penular rabies (HPR) ke dalam Pulau Bali merupakan hal yang dilarang, mengacu pada Keputusan Menteri Pertanian RI No.1696/2008 tentang larangan memasukkan anjing, kucing, kera dan sebangsanya ke Provinsi Bali. Namun demikian, kedua spesies ini masih mudah ditemui di Pasar Burung Satria, Kota Denpasar dan diduga bayi-bayi monyet yang dijual didatangkan setiap bulan dari Sumatera. Sejak 2018-2022 Jakarta Animal Aid Network (JAAN) mencatat upaya penyelamatan monyet ekor panjang dan beruk selalu dilakukan hampir setiap bulan, namun pelepasliaran kedua spesies yang jumlahnya terus bertambah setiap tahunnya tidak dapat dilakukan di Bali sebab satwa tersebut berasal dari luar pulau. Asal monyet dan beruk tersebut kebanyakan merupakan bayi yang dijual di pasar dan banyak pula satwa dewasa yang dilepasliarkan begitu saja sehingga menimbulkan interaksi negatif dengan masyarakat, serta monyet yang diserahkan pemiliknya karena sudah tidak sanggup lagi merawat.
DATA JUAL BELIS MACC & YIARI
Sangat terbukanya sejumlah e-commerce dalam menjual kedua spesies primata endemik Indonesia merupakan salah satu hal yang memperlihatkan kurangnya atensi pemerintah dalam memberantas perburuan dan perdagangannya. Laporan dari Social Media Animal Cruelty Coalition (SMACC) menyatakan bahwa di tahun 2021, Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara dengan pengunggah video penyiksaan hewan terbanyak di dunia, yakni sejumlah 1.626 konten—banyak di antaranya adalah video yang melibatkan penyiksaan terhadap monyet dan beruk.
Temuan Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) dalam memonitor pasar online di platform grup Facebook sepanjang tahun 2020-2022, terdapat 1650 monyet ekor Panjang dan 77 beruk yang diperjualbelikan di 26 e-commerce yang tersebar di 11 provinsi di Indonesia. Jawa menjadi wilayah terbesar dalam perdagangan monyet, diikuti oleh Sumatra dan Kalimantan. Secara keseluruhan, Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan DKI Jakarta menjadi pusat perdagangan monyet di Indonesia. Bayi monyet ekor panjang (85%) dan beruk (89%) mendominasi pasar karena banyaknya permintaan pembelian/pemeliharaan.
DATA LAPORAN EKSPLOITASI MONYET ADSH
Berdasarkan laporan yang masuk ke dalam formulir pengaduan masyarakat atas segala tindakan eksploitatif yang terjadi terhadap monyet, Animals Don’t Speak Human (ADSH) mencatat 43% dari 192 laporan masyarakat mengadukan keberadaan monyet yang dijadikan peliharaan manusia. Kondisi monyet yang dilaporkan beragam, 132 laporan menyebutkan kondisi monyet/beruk yang dirantai dan 67 lainnya dikerangkeng.
Di sisi lain, penegakkan hukum terhadap kejahatan perdagangan dan eksploitasi monyet ekor panjang dalam kurun waktu 2014 hingga 2022 sangat sedikit. Merujuk pada Sistem Informasi Perkara Pengadilan (SIPP) Mahkamah Agung tercatat hanya ada 5 kasus yang divonis oleh Majelis Hakim.
Kontak media:
Angelina Pane, Animal Friends Jogja | +6282133749524 | [email protected] | www.animalfriendsjogja.org
Fiolita Berandhini, Animals Don’t Speak Human | +6281353917404 [email protected] | www.animalsdontspeakhuman.org
M. Satria Putra, Garda Animalia | +628111671671 | [email protected] | www.gardaanimalia.com